Penyebab Penyakit Difteri
Halo Teman-teman selamat Datang di Agen Preventif
Baca Juga: Dampak Rokok Terhadap Kesehatan
Baca Juga: Mengenal HIV/AIDS
a. Difteri saluran
napas
b. Difteri hidung
c. Difteri tonsil
dan faring
d. Difteri laring
e. Difteri kulit
f. Difteri pada
tempat lain
Saat ini Banyak sekali penyakit baik Penyakit Infeksi maupun Penyakit Non Ifeksi.
Penyakit Infeksi atau penyakit menular biasanya disebabkan oleh mikro oraganisme baik virus maupun bakteri. Sedangkan Penyakit Non Infeksi biasanya disebabkan oleh gaya hidup seseorang. Salah satu penyakit menular dengan kasus tertinggi diindonesia adalah Penyakit Difteri.
Difteri
Penyakit difteri terdapat di seluruh dunia,
khususnya di negara-negara tropis dengan penduduk padat dan cakupan imunisasi
rendah.3,4 Penularan melalui kontak dengan karier atau individu terinfeksi.
Bakteri ditularkan melalui kontak droplet seperti batuk, bersin, ataupun kontak
langsung saat berbicara. Manusia merupakan karier asimptomatik dan berperan
sebagai reservoir C. diphteriae. Transmisi melalui kontak dengan lesi kulit
individu terinfeksi jarang terjadi.1 Difteri umumnya menyerang anak-anak usia
1-10 tahun
Asia Tenggara merupakan wilayah dengan insidens
tertinggi di dunia khususnya pada tahun 2005.
Indonesia menempati urutan kasus difteri terbanyak kedua setelah India,
yaitu 3203 kasus.2 Menurut data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2016, jumlah
kasus difteri sebanyak 415 kasus dengan kasus meninggal 24 kasus, sehingga CFR
difteri mencapai 5,8%. Kasus terbanyak di Jawa Timur (209 kasus) dan Jawa Barat
(133 kasus). Dari seluruh kasus difteri, sebanyak 51% pasien tidak mendapat
vaksinasi sebelumnya. Pada tahun 2016, 59% kasus difteri terjadi pada kelompok
umur 5-9 tahun dan 1-4 tahun.
Pengertian
Difteri merupakan salah satu penyakit menular
yang disebabkan oleh agen dalam bentuk bakteri dan memiliki cara penularan yang
khusus. Penyakit ini menyerang tonsil, faring, laring, hidung, dan adakalanya
menyerang selaput lendir atau kulit konjungtiva atau vagina. Sedangkan menurut Kementertian Kesehatan Difteri adalah salah satu penyakit yang sangat
menular, dapat dicegah dengan imunisasi, dan disebabkan oleh bakteri gram
positif Corynebacterium diptheriae strain toksin. Penyakit ini ditandai dengan
adanya peradangan pada tempat infeksi, terutama pada selaput mukosa faring,
laring, tonsil, hidung dan juga pada kulit.
Penyebab
Difteri adalah penyakit menular yang disebabkan
oleh bakteri Corynebacterium diphtheria, yang terutama menginfeksi tenggorokan
dan saluran udara bagian atas, dan menghasilkan racun yang memengaruhi organ
lain. Terjadi interaksi antara penjamu dan agen
bakteri Corynebabacterium Diphtheriae. Jika imuitas host(manusia) sedang lemah maka agen
penyakit akan menajdi lebih ganas serta kondisi lungkungan tidak mendukung bagi
host
Baca Juga: Dampak Rokok Terhadap Kesehatan
Baca Juga: Mengenal HIV/AIDS
Masa Inkubasi
Periode inkubasi 2-4 hari, strain difteri yang
terinfeksi (mengalami lisogenisasi) dapat menghasilkan toksin. Toksin awalnya
diserap ke dalam membran sel target melalui ikatan reseptor pada permukaan sel
dan mengalami endositosis. Toksin ini terdiri atas 2 komponen, yaitu subunit A
dan subunit B. Setelah mengalami endositosis, subunit A akan menghambat
sintesis protein sel.
Penularan
Penularan disebarkan melalui droplet, kontak
langsung dengan sekresi saluran napas penderita atau dari penderita karier.
3%-5% pada daerah endemis, orang sehat bisa sebagai pembawa kuman difteri
toksigenik. Kuman Corynebabacterium Diphtheriae dapat bertahan hidup dalam debu
atau udara luar dalam jangka waktu 6 bulan.
Jenis-Jenis Difteri
a. Difteri saluran
napas
Fokus infeksi primer yang sering, yaitu pada
tonsil atau pharynx kemudian hidung dan larynx. Pada difteria pharyngeal dan
tonsilar, sakit tenggorokan adalah gejala yang muncul pertama. Separuh pasien
memiliki gejala demam dan sebagian lagi mengeluhkan disfagia, suara serak,
malaise atau sakit kepala. Injeksi pharyngeal ringan diikuti dengan pembentukan
membran tonsilar baik uni maupun bilateral yang bisa meluas ke uvula (bisa
mengakibatkan paralisis yang dimediasi oleh toksin), palatum molle, oropharynx
posterior, hypopharynx, atau area glotis(Hartoyo, 2018).
b. Difteri hidung
Pada awalnya Difteria
hidung menyerupai pilek dengan gejala ringan tanpa atau disertai gejala
sistemik ringan. Kemudian mukopurulen, menyebabkan lecet pada nares dan bibir
atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi. Absorpsi
toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga
diagnosis lambat dibuat(Hartoyo, 2018).
c. Difteri tonsil
dan faring
Gejala
difteria tonsil faring adalah anoreksia nervosa, tidak enak badan, demam
ringan, dan nyeri. Selanjutnya dalam 1-2 hari membran yang mudah berdarah,
berwarna putih-kelabu, melekat, timbul menutup tonsil dan dinding faring, lalu
meluas ke uvula dan palatum molle atau ke bawah ke laring dan trakea. Setelah
itu, derajat penetrasi toksin dan luas membrane menentukan gejala. Pada kasus
berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan dan sirkulasi, paralisi palatum molle
baik uni maupun bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor,
koma, kematian bisa terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari. (Hartoyo, 2018).
d. Difteri laring
Difteria laring
biasanya merupakan perluasan difteria faring. Gejala klinis difteria laring sulit
apabila dibedakan dengan gejala croup atau Laryngotracheobronchitis, seperti nafas berbunyi, batuk kering, suara parau,
dan stridor yang progresif. Bila terjadi pelepasan membran yang menutup jalan
nafas bisa terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat, terjadi perluasan membran
percabangan trakeobronkial. Apabila difteria laring terjadi sebagai perluasan
dari difteria faring maka gejala yang tampak merupakan campuran gejala
obstruksi dan toksemia(Hartoyo, 2018).
e. Difteri kulit
Difteria kulit
merupakan infeksi nonprogresif yang ditandai dengan ulkus superfisial, ektima,
indolent dengan membran coklat kelabu di atasnya, sulit dibedakan dengan
impetigo akibat Stapyllococcus/ Streptococcus dan biasanya bersamaan dengan
infeksi kulit ini. Pada banyak kasus infeksi, ekstremitas lebih sering terkena
daripada leher atau kepala. Infeksi simtomatik atau kolonisasi kuman di traktus
respiratorius dengan komplikasi toksin terjadi pada sebagian kecil penderita
difteria kulit(Hartoyo, 2018).
f. Difteri pada
tempat lain
Tanda klinis antara lain pembentukan membran dan
perdarahan submukosa membantu dalam membedakan difteria dari penyebab bakteri
lain dan virus. Difteria pada mata dapat berupa kemerahan, edema dan membran
pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret
purulen dan berbau(Hartoyo, 2018).
Pencegahan
![]() |
Imunisasi Pada Anak Kecil |
Pecegahan yang dapat diberikan dalam
penyakit ini adalah dengan melakukan imunisasi. Semua anak di seluruh dunia
harus diimunisasi terhadap difteri. Seri 3 dosis primer selama masa bayi adalah
dasar untuk membangun kekebalan seumur hidup terhadap difteri. Pada usia berapa
pun mereka yang tidak divaksinasi atau tidak divaksinasi lengkap terhadap
difteri harus menerima dosis yang diperlukan untuk menyelesaikan vaksinasi
mereka. Diperkirakan 86% anak-anak di seluruh dunia menerima 3 dosis vaksin
yang mengandung difteri yang direkomendasikan ketika mereka masih bayi,
menyisakan 14% tanpa cakupan atau tidak lengkap.
Sejak
tahun 2000, WHO dan UNICEF bersama-sama menghasilkan perkiraan cakupan
imunisasi nasional untuk Negara-negara Anggota setiap tahun. Cakupan DTP3
digunakan sebagai indikator untuk menilai proporsi anak yang divaksinasi dan
dihitung untuk anak di bawah usia satu tahun. Perkiraan jumlah anak yang
divaksinasi dihitung menggunakan data populasi yang disediakan oleh 2019 World
Population Prospect (WPP) dari PBB .
WHO, 2020 merekomendasikan serangkaian vaksinasi primer 3
dosis dengan vaksin yang mengandung difteri diikuti oleh 3 dosis pendorong.
Seri primer harus dimulai sejak usia 6 minggu dengan dosis berikutnya yang
diberikan dengan interval minimum 4 minggu antara dosis. 3 dosis penguat
sebaiknya diberikan selama tahun kedua kehidupan (12-23 bulan), pada 4-7 tahun
dan pada usia 9-15 tahun. Idealnya, harus ada setidaknya 4 tahun antara dosis
penguat.
Seperti itu Pengertian, Penyebab, Masa Inkubasi, Penularan, Jenis-Jenis dan Pecegahan Difteri. Semoga bermanfaat bagi teman teman sebagai bahan referensi.
3 Comments
Makasih Kak
ReplyDelete💪
DeleteIzin promo ya Admin^^
ReplyDeletebosan tidak ada yang mau di kerjakan, mau di rumah saja suntuk,
mau keluar tidak tahu mesti kemana, dari pada bingung
mari bergabung dengan kami di ionqq^^com, permainan yang menarik
ayo ditunggu apa lagi.. segera bergabung ya dengan kami...
add Whatshapp : +85515373217 ^_~ :))